ilustrasi |
Oleh: Mahmud Budi Setiawan (baca)
KEPEDULIAN Bangsa Indonesia terhadap Palestina dalam perjalanan sejarah tidak perlu diragukan. Pasalnya, baik sebelum atau sesudah kemerdekaan Negara Indonesia, kepedulian ini senantiasa tercermin bahkan hingga detik ini. Para tokoh dan pahlawan bangsa Indonesia dalam sepak terjangnya selalu menyempatkan diri untuk memberikan solidaritas agar negara yang terjajah ini bisa terbebas dari kolonialisme.
Sebelum kemerdekaan misalnya, ada beberapa contoh menarik yang bisa diangkat dalam tulisan ringkas ini. Adalah KH. Saifuddun Zuhri, salah satu tokoh kenaman NU yang pernah menjabat sebagai Menteri Agama RI, dalam buku “Guruku Orang-Orang Pesantren (2001: 390-392) menceritakan bahwa pengurus Nahdlatul Ulama (NU) pada tanggal 12 November 12 November 1938 meminta seluruh partai dan organisasi umat Islam serta Pimpinan WARMUSI (Wartawan Muslim Indonesia) agar memberi dukungan terhadap perjuangan rakyat Palestina.
Sebagai kepedulian terhadap Palestina, pernah PBNU menganjurkan ‘qunut nazilah’. Seruan ini sampai membuat KH. Machfud Shiddiq yang menjadi Ketua NU saat itu dipanggil oleh Pemerintahan Belanda pada 27 Januari 1929. Bahkan, Kiai besar seperti Hasyim Asy’ari pun juga menyerukan hal demikian. Bagi beliau, ‘qunut nazilah’ sebagai suatu bentuk kewajiban solidaritas Umat Islam. Apa yang dilakukan oleh Kiai NU ini, memang benar-benar menggambarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa umat Islam itu bagaikan satu tubuh. Bila ada satu anggota tubuh sakit, maka anggota lain turut merasakannya.
Lebih dari itu, menurut catatan M. Riza Sihbudi dalam buku “Palestina: Solidaritas Islam dan tata Politik Dunia” (1992: 113) bahwa pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia juga begitu peduli terhadap Palestina. Katanya, “Sosok seperti Tjokroaminoto, H.A. Salim, Bung Karno, Bung Hatta dan banyak lagi, secara vokal menyuarakan, secara lisan dan melalui tulisan, jiwa solidaritas Indonesia terhadap nasib rakyat Palestina.”
Haji Agus Salim dalam Majalah Pandji Islam tahun 1939 –sebagaimana yang dikutip Rizki Lesus dalam buku “Perjuangan yang Dilupakan” (2017: 171)- memandang urusan Palestina sebagai masalah yang begitu besar bagi dunia dan umat Islam seluruhnya. Bahkan dalam buku “100 Tahun Haji Agus Salim” (1996: 434) disebutkan bahwa, “Bangsa Arab di Palestina mempertahankan hak bangsanya dan keyakinan Islam tentang Palestina dan Bait-al-Maqdis (Baitul Maqdis). Sudah bertahun-tahun bangsa yang “segenggam” saja orangnya dan sangat berkekurangan kelengkapannya, tetapi kuat karena keyakinannya dan kesucian cita-citanya menentang kekuasaan Inggris.” Hal ini adalah sebagai salah satu bukti kepedulian Agus Salim terhadap masalah Palestina.
Pasca kemerdekaan pun, kepedulian bangsa Indonesia tidak bisa dianggap kecil. Sebagai contoh. Dalam buku “Berangkat dari Pesantren” (1987: 538) KH. Saifuddin Zuhri ketika menjadi Menteri Agama pernah menyerahkan bantuan atas nama bangsa Indonesia di masa Presiden Soekarno. Beliau menuturkan, “Setelah melihat-lihat bagian yang sedang mengalami perbaikan, kepada rekanku Menteri Urusan Waqaf itu, aku menyerahkan sumbangan sebesar US $ 18.000,00. Rekanku itu memanggil beberapa wartawan dari beberapa harian di Jerusalem untuk memberitakan peristiwa yang sangat penting, penuh keakraban dan persaudaraan sesama Muslim, antara Indonesia dan Yordania.”
Selanjutnya, keberadaan Masyumi dalam kancah sejarah Indonesia dalam membela Palestina juga bisa diangkat di sini. Parta umat Islam yang begitu berpengaruh ini turut berkontribusi dalam menyelesaikan konflik di Timur Tengah seperti konflik antara Israel dan Palestina (Artawijaya, 2008: 51) Bahkan, di antara tokoh menonjol dalam partai Islam ini, seperti: M. Natsir, begitu peduli dengan urusan Palestina.
Pada tahun 1952, Natsir sendiri pernah berkunjung langsung ke Palestina menyaksikan kondisi pasca perang. Kunjungan ini dilakukan untuk mempelajari sebenarnya apa yang terjadi dan untuk menentukan sikap yang tepat setelahnya. Pada kesempatan berikutnya, Natsir ikut dalam Muktamar Alam Islami. Pada saat itu ada sekitar tujuh puluh anggota datang dari dua puluh satu negara. Uniknya, negara yang baru dalam perjuangan kemerdekaan seperti Eriteria turut hadir. Kongres selama lima hari ini memutuskan dukungan kemerdekaan untuk Palestina. (Hepi Andi Bastoni, 2008)
Yang tidak bisa dilupakan juga adalah ketegasan Bung Karno. Pada tahun 1953-1955, dalam persiapan Konferinsi Asia Afrika (KAA), beliau menentang keras jika Israel dilibatkan dalam konferensi yang bertemakan antikolonialisme (Rizki, 2017: 172). Bahkan, sampai tahun 1962, Soekarno menolak keterlibatan Israel dalam Asian Seagames. Sampai-sampau beliau berkata, “Untuk Israel, selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel.”
Hal menarik yang perlu disajikan di sini adalah bagaimana kepedulian Bung Hatta kepada Palestina. Menurut catatan Adian Husaini dalam buku “Gusdur Kau Mau Kemana” (2000) bahwa politik bebas aktif yang dicanangkan Bung Hatta dalam pidatonya yang berjudul “Mendayung antara Dua Karang” (2/9/1948), tidak mengurangi ketegasan Indonesia penjajahan Israel atas Palestina. Menariknya, dalam buku Hatta “Mendayung antara Dua Karang” disebutkan ada pengiriman 300 ton beras ke Palestina (1976: 89)
Beberapa kisah di atas menunjukkan bahwa, baik sebelum dan sesudah kemerdekaan, kepedulian bangsa Indonesia terhadap Palestina tidak pernah berhenti sedetik pun. Bantuan mereka bukan hanya dengan doa, tapi juga melalui perundingan, diplomasi, bahkan bantuan materil dan moril. Meski jarak antara kedua bangsa ini jauh, namun batin keduanya begitu tertaut. Bukankah dulu yang mengakui kemerdekaan Indonesia adalah Palestina. Mufti Besar Palestina Syaikh Muhammad Amin Al Husaini adalah tokoh yang paling menonjol dalam masalah ini.
Sebagai penutup, Indonesia memang sudah 72 tahun merasakan kemerdekaan. Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk Palestina yang masih terjajah? Ditambah lagi kondisi diperparah dengan pengakuan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump (6/12/2017) terhadap Yerusalem (Baitul Maqdis) sebagai Ibu Kota Zionis-Israel.
Dunia sedang menunggu peran besar dari bangsa yang memiliki jumlah pemeluk Islam terbesar di dunia ini. Mari melanjutkan kontribusi para pendiri bangsa untuk Palestina. Wallahu a’lam.*
Penulis alumnus Al Azhar, Kairo dan Program Kaderisasi Ulama (PKU) VIII Darus Salam Gontor 204-2015
0 Komentar