Wacana Pembentukan Save Zone Rohingya di Rakhine Myanmar Menguat


Pemerintah transisi Bangladesh kembali menggulirkan usulan penting terkait krisis kemanusiaan Rohingya yang tak kunjung berakhir di Myanmar. Dalam pertemuan dengan pelapor khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia di Myanmar, Thomas Andrews, Kepala Pemerintahan Bangladesh Muhammad Yunus menyarankan pembentukan safe zone atau zona aman di negara bagian Rakhine, Myanmar, dengan jaminan dan pengawasan langsung dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Menurut Yunus, gagasan zona aman ini bisa menjadi cara paling realistis dan efektif untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan ke wilayah-wilayah yang selama ini sulit diakses karena konflik bersenjata. Selain itu, keberadaan safe zone diharapkan bisa menahan laju eksodus ribuan pengungsi Rohingya yang terus memasuki Bangladesh dalam beberapa pekan terakhir.

Dalam pernyataannya, Thomas Andrews menyebut situasi di Rakhine saat ini telah menjadi krisis kemanusiaan besar-besaran. Lebih dari 3,1 juta orang di seluruh Myanmar telah mengungsi akibat eskalasi kekerasan, dan Rakhine menjadi salah satu episentrum terburuk. Andrews sepakat bahwa solusi darurat seperti zona aman harus segera diwujudkan untuk menyelamatkan ribuan jiwa yang terjebak di tengah pertempuran. Save Zone tersebut juga akan diperuntukkan bagi pengungsi lain selain Rohingya.

Pertanyaan utama yang muncul dari wacana ini adalah: siapa yang akan bertanggung jawab atas keamanan zona aman tersebut? Yunus menyatakan idealnya pengamanan dilakukan langsung oleh pasukan penjaga perdamaian PBB, bukan militer Myanmar atau kelompok bersenjata lokal, untuk menjamin netralitas dan keselamatan warga sipil di dalamnya.

Namun, pengalaman di berbagai zona konflik menunjukkan bahwa pembentukan safe zone di tengah perang aktif bukan perkara mudah. PBB sendiri perlu mandat dari Dewan Keamanan, yang kerap terhambat veto negara-negara besar seperti China dan Rusia yang selama ini menjadi pelindung politik junta Myanmar di forum internasional.

Sementara itu, beberapa analis menyebut ASEAN bisa berperan dalam pengamanan awal zona aman dengan skema pasukan gabungan regional, meski hingga kini belum ada konsensus di antara negara-negara anggotanya untuk melakukan intervensi militer terbatas di Myanmar. Sebagian besar negara ASEAN masih mengedepankan prinsip non-intervensi.

Di lapangan, realitasnya zona aman di Rakhine akan berhadapan dengan dua kekuatan besar: militer Myanmar dan kelompok bersenjata Arakan Army (AA). Keduanya memiliki kepentingan strategis di wilayah itu dan selama ini kerap terlibat dalam pelanggaran terhadap warga sipil Rohingya. Tanpa persetujuan minimal dari dua pihak ini, safe zone berisiko gagal sejak awal. Meski begitu beberapa pemimpin AA sudah memberi sinyal positif.

Pihak Rohingya sendiri menyambut baik gagasan tersebut, namun banyak di antara mereka skeptis soal siapa yang benar-benar bisa dipercaya menjaga keselamatan mereka di Rakhine. Trauma atas kekerasan 2017 masih membekas, di mana militer Myanmar saat itu dituding melakukan genosida sistematis.

Di sisi lain, Bangladesh yang kini menampung sekitar 1,2 juta pengungsi Rohingya di Cox's Bazar dan Bhasan Char, menginginkan zona aman tersebut juga menjadi solusi jangka panjang. Muhammad Yunus berharap zona aman bisa menjadi titik awal pemulangan Rohingya secara bertahap tanpa paksaan dan di bawah pengawasan internasional.

Wacana pemukiman ulang atau relokasi Rohingya ke negara ketiga juga kembali dibahas dalam pertemuan itu. Yunus meminta dukungan negara-negara sahabat dan lembaga internasional untuk membuka jalur resettlement bagi sebagian pengungsi Rohingya yang tak mungkin kembali ke Myanmar dalam waktu dekat.

Selain persoalan keamanan, tantangan lain adalah logistik dan akses kemanusiaan ke wilayah zona aman. Jalan-jalan utama di Rakhine banyak yang rusak akibat konflik dan gempa bumi terbaru, sementara bantuan internasional kerap terhambat birokrasi militer Myanmar yang masih memegang kendali penuh di wilayah tersebut.

Beberapa lembaga kemanusiaan menilai zona aman hanya akan efektif jika memiliki jalur udara dan laut mandiri untuk distribusi bantuan, serta jalur evakuasi darurat bagi warga sipil. Artinya, pengamanan udara dan perbatasan zona aman juga harus di bawah komando internasional, bukan aparat lokal.

Belajar dari Bosnia dan Sudan, safe zone yang tidak dikawal ketat rentan menjadi sasaran serangan. Oleh karena itu, PBB perlu menyiapkan pasukan dengan mandat ofensif terbatas agar bisa merespons cepat ancaman di zona aman, bukan sekadar pasukan pengamat tanpa kewenangan bertindak.

Persoalan lainnya adalah posisi politik negara-negara tetangga Myanmar. India, China, dan Thailand selama ini memiliki kepentingan ekonomi dan geopolitik di wilayah perbatasan Rakhine dan cenderung enggan mendukung intervensi internasional terbuka di Myanmar. Posisi ini bisa jadi batu sandungan bagi realisasi zona aman.

Sebaliknya, beberapa negara ASEAN cukup vokal mendesak pembentukan zona aman internasional untuk Rohingya. Dukungan negara-negara ini bisa memperkuat tekanan diplomatik di berbagai forum, asalkan diiringi komitmen nyata, bukan sekadar pernyataan politik.

Kini, bola ada di tangan Dewan Keamanan PBB dan ASEAN. Apakah mereka bersedia keluar dari zona nyaman diplomasi simbolik dan benar-benar mengambil tindakan konkret untuk melindungi warga sipil Rohingya di tanah kelahirannya sendiri, atau kembali membiarkan tragedi kemanusiaan ini berlarut.

Wacana zona aman di Rakhine bisa menjadi peluang besar memperbaiki kredibilitas PBB dan ASEAN dalam menangani krisis Myanmar, sekaligus menyelamatkan ribuan nyawa yang terancam. Tapi tanpa kejelasan siapa penjaga keamanannya, usulan ini bisa jadi hanya sekadar wacana kosong.

Keputusan akhir tentang siapa yang memimpin pengamanan zona aman Rohingya akan sangat menentukan nasib kawasan itu ke depan. Jika tidak segera diputuskan secara tegas dan adil, safe zone hanya akan menjadi area rawan baru di tengah medan perang yang belum selesai.

Posting Komentar

0 Komentar